Akurasi.id – Sebelum terjadinya longsor di Jalan Kawasan, RT 09, Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara (Kukar), Kamis (29/11) lalu, masyarakat setempat telah mengingatkan pemerintah daerah agar mengambil tindakan. Sayangnya, permintaan warga tak digubris dengan cepat.
Hal itu disampaikan Ketua Forum Komunikasi Pembangunan Masyarakat Sangasanga Peduli Lingkungan (FKP-MSPL), Harun. Pihaknya pernah meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar meninjau aktivitas PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN).
Tak mendapat jawaban dari pemerintah, beberapa kali warga mengelar aksi unjuk rasa. Protes itu tak membuahkan hasil yang berarti. Setelah musibah tiba, barulah pemerintah daerah dan wakil rakyat angkat bicara.
Aksi protes diadakan karena warga sudah memprediksi akan terjadi longsor apabila pemerintah tidak mengambil tindakan penanggulangan dini. Secara berturut-turut, aksi berlangsung sejak 24 Agustus lalu.
“Kami menyampaikan surat penolakan secara administrasi kepada semua instansi terkait untuk mengkaji ulang kegiatan pertambangan PT ABN. Tapi tidak pernah direspons,” kata dia, Senin (3/12) lalu.
Pihaknya menyesalkan pernyataan Camat Sangasanga, Gunawan, yang mengaku tidak mengetahui kegiatan PT ABM. Sebagai pejabat, Gunawan dianggapnya telah berbohong.
Menurutnya, ia bersama para pegiat lingkungan di Sangasanga telah menyampaikan duduk permasalahan tersebut. Dia memiliki surat sebagai bukti penyampaian aspirasi itu.
Langkah antisipatif warga bukan tanpa dasar. Merujuk pada Undang-undang (UU) nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), kegiatan PT ABN dinilai melanggar aturan. Pasalnya dalam aturan itu, jarak pertambangan dengan pemukiman warga harus di atas 500 meter. Faktanya, radius aktivitas pertambangan berada di bawah jarak tersebut.
Bantah Pernyataan Gubernur Kaltim
Adi Prayitno, seorang warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, menyampaikan penilaian serupa. Pegiat lingkungan ini menyebut, lokasi tambang milik PT ABN berada di radius 125 meter dari pemukiman penduduk.
Dia membantah pernyataan Gubernur Kaltim Isran Noor yang menyebut longsor itu bukan disebabkan aktivitas tambang milik PT ABN. Gubernur dinilai tidak akurat memberikan keterangan terkait radius di atas 200 meter.
“Kami punya data yang valid. Kami mengambil titik koordinat dari jalan raya ke pinggir tambang. Hasilnya hanya 125 meter. Dari pagar seng (pembatas lokasi tambang) ke pinggir jalan besar itu hanya 120 meter. Jarak dari pagar seng tambang hanya 5 meter,” sebutnya.
Pengkajian dan analisis radius tambang milik PT ABN dilakukan sebelum terjadinya longsor. Pada Februari 2018 lalu, pegiat lingkungan telah berinisiatif melakukan pengukuran jarak pemukiman dan lokasi tambang tersebut.
“Eksplorasi pertambangan PT ABN sudah dilakukan sejak tahun 2006. Mulai produksi tahun 2008. Di kawasan terjadinya longsor, baru ditambang pada Februari 2018. Di daerah sekitar pertambangan PT ABN ada sekitar 10 sumur minyak milik PT Pertamina yang sudah tidak aktif,” bebernya.
Sumber Air Menipis
Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT ABN di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kukar, rupanya berdampak pada menipisnya sumber mata air di daerah tersebut. Tak hanya itu, banjir yang tak pernah singgah di kawasan tersebut, sudah mulai terjadi di Kelurahan Jawa.
Adi Prayitno mengaku, sejak PT ABN beroperasi, beberapa titik mata air sudah menghilang. Padahal hampir semua titik di Kelurahan Jawa selalu berlimpah mata air.
“Mata air yang dekat dengan pemukiman warga sudah kering dan tersedot ke lokasi pertambangan. Sumur bor atau tanam, enggak ada lagi yang bisa diambil airnya,” tutur dia.
Sejak kampung itu berdiri puluhan tahun silam, tidak pernah terjadi longsor. Begitupun dengan banjir. Kedua fenomena alam itu baru terjadi setelah penggalian emas hitam.
“Sejak nenek moyang kami tinggal di sini, tidak pernah ada yang namanya tanah longsor. Selama ini kampung kami aman. Setelah pertambangan masuk, longsor terjadi,” katanya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin
Editor: Yusuf Arafah