Akurasi.Id – Sektor pertambangan batu bara diduga menjadi komoditas politik dan sumber pendanaan kampanye politik di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Baik di tingkat nasional maupun daerah. Keterkaitan yang erat dengan kebijakan dan regulasi pemerintah, royalti, pajak, serta infrastruktur pemerintah, mendorong sektor ini terpapar korupsi politik.
Hal ini disampaikan dalam sebuah laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Greenpeace, Auriga, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (18/12) lalu di Jakarta.
Laporan yang bertajuk “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara” ini mengungkap peran elite politik atau politically exposed persons menyatukan kepentingan bisnis dan politik di sektor pertambangan batu bara.
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan, terdapat elite politik dengan konflik kepentingan yang besar di bisnis batu bara.
Dia mencontohkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang membawahi sektor pertambangan dan energi. Dia merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtera. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batu bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Kata dia, beberapa politically-exposed persons lainnya terhubung dengan kelompok bisnis tersebut. Termasuk anggota keluarga Luhut, mantan menteri, pejabat tinggi dan pensiunan jenderal.
“Elite nasional bersekongkol dengan elite daerah dalam bisnis batu bara. Ini merupakan lanskap baru di mana desentralisasi membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih politis dan meningkatkan kekuasaan diskresioner para pejabat daerah. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya korupsi,” kata Tata Mustasya.
Dia mengurai beberapa faktor yang meningkatkan risiko korupsi dalam setiap tahap pertambangan. Kelemahan dalam sistem pencegahan korupsi, juga pada aspek yudisial secara umum menurunkan kemampuan pemerintah mendeteksi, mencegah dan menghukum koruptor di bidang pertambangan.
Proses pengambilan keputusan yang dipolitisasi dan kekuasaan diskresioner yang dipegang pejabat negara tak kalah penting meningkatkan risiko terjadinya korupsi.
“Faktor lainnya adalah tata kelola dalam sektor pertambangan yang tidak memiliki pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas,” katanya.
Perwakilan ICW, Firdaus Ilyas menyatakan, buruknya pengawasan menjadikan pengelolaan batu bara rentan dikorupsi. Lemahnya penegakan hukum membuat bisnis batu bara menjadi “bancakan” oknum pengusaha dan penguasa.
“Dari sisi ekonomi penerimaan negara dari batu bara tidaklah seberapa dibandingkan dampak lingkungan dan kepentingan generasi mendatang. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita melepaskan diri dari ketergantungan pada batu bara,” imbuhnya.
Pertambangan Merusak Lingkungan
Koordinator Jatam, Merah Johansyah mengatakan, melalui korupsi politik di bidang sumber daya alam, pemilu hanya menjadi ajang merebut kuasa dan jabatan serta menumpuk kekayaan.
Pesta demokrasi lima tahunan ini juga menjadi kesempatan bagi para pengusaha batu bara melakukan praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan politik demi melanggengkan usaha di daerah. Apalagi politisi dan sekaligus pengusaha batu bara berada di kedua kubu kandidat calon presiden di pemilu 2019.
“Korupsi politik melalui kongkalikong politisi dan pebisnis batu bara ini menyebabkan masyarakat harus berhadapan langsung dengan berbagai masalah yang ditimbulkan oleh industri kotor ini,” tegasnya.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menegaskan, ijon politik itu mengakibatkan penggusuran lahan, perampasan wilayah adat, kriminalisasi, krisis pangan dan air, ancaman kesehatan, tindakan kekerasan aparat negara, hingga lubang-lubang tambang yang mengakibatkan anak-anak tewas.
“Operasi serampangan PT ABN (Adimitra Baratama Nusantara) yang terhubung dengan bisnis keluarga Menteri Luhut Panjaitan awal Desember ini telah menyebabkan 41 jiwa harus mengungsi, 17 rumah retak dan hancur, jalan utama Desa Sangasanga dan Muara Jawa terputus,” ucapnya.
Rupang menegaskan, coalruption atau korupsi batu bara telah dan sedang menghancurkan kesejahteraan Indonesia. Praktik ini mencemari lingkungan, mematikan, merusak reputasi dan melemahkan demokrasi Indonesia melalui praktik korupsi politik.
“Korupsi politik di sektor batu bara harus diakhiri dengan memutus ketergantungan negara pada komoditas tersebut. Hal ini demi masa depan Indonesia yang lebih baik dengan energi dan politik yang bersih,” tutupnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin
Editor: Yusuf Arafah