Jakarta, Akurasi.id – Pemerintah Indonesia bersiap menghadapi dampak kebijakan tarif timbal balik yang diberlakukan Amerika Serikat (AS), dikenal sebagai “Tarif Trump”, dengan menyiapkan sejumlah langkah pengurangan beban tarif. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa strategi ini penting untuk menjaga daya saing industri nasional dan menekan tekanan biaya dari kebijakan perdagangan global tersebut.
Salah satu langkah utama yang akan dilakukan pemerintah adalah reformasi administrasi kepabeanan, termasuk perbaikan dalam sistem pemeriksaan pajak, restitusi, dan perizinan. Menurut Sri Mulyani, langkah ini dapat menurunkan beban tarif hingga 2 persen.
“Reform ini bisa kita lakukan hanya dari sisi administratif. Penyederhanaan bisa mengurangi beban. Kalau dunia usaha kena 32 persen, dengan reform ini bisa turun 2 persen,” ujar Sri Mulyani dalam acara “Sarasehan Ekonomi Bareng Presiden RI” di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Pemerintah juga akan menyesuaikan tarif bea masuk impor yang sebelumnya berada di kisaran 5-10 persen menjadi 0-5 persen, khusus untuk produk asal AS. Langkah ini diharapkan mampu menurunkan beban tarif impor sebesar 5 persen.
Tak hanya itu, Sri Mulyani juga menyebut akan ada penyesuaian bea keluar untuk produk crude palm oil (CPO) yang bisa menurunkan beban setara 5 persen. Pemerintah menargetkan agar proses penetapan bea masuk anti-dumping dan safeguard bisa dipercepat hanya dalam waktu 15 hari kerja.
“Menteri Perdagangan, Pak Menko Perekonomian, semua minta supaya ini bisa dilakukan cepat. Kita akan koordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya,” jelasnya.
Langkah-langkah tersebut dinilai penting karena tarif timbal balik AS untuk Indonesia ditetapkan sebesar 32 persen, dan mulai berlaku pada Rabu, 9 April 2025. Selain Indonesia, lebih dari 180 negara terkena kebijakan tarif ini, termasuk sekutu dekat AS seperti Kanada dan Australia.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani turut mengkritisi kebijakan tarif AS tersebut, yang menurutnya tidak berdasarkan prinsip ekonomi yang lazim. Ia menyebut pendekatan yang digunakan AS bersifat murni transaksional dan bertujuan menutup defisit anggaran, bukan berdasarkan perhitungan ilmiah.
“Tarif resiprokal ini tidak bisa dijelaskan secara disiplin ilmu ekonomi. Tujuannya hanya untuk menutup defisit, jadi sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi di situ,” tegasnya.
Sri Mulyani menegaskan bahwa saat ini adalah momentum tepat bagi Indonesia untuk melakukan kontraksi dan reformasi ekonomi yang lebih ambisius demi memperkuat fondasi ekonomi nasional menghadapi ketidakpastian global. (*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy