Solo, Akurasi.id – Salah satu rumah makan legendaris di Kota Solo, Ayam Goreng Widuran, menjadi sorotan publik usai terungkap menggunakan bahan non-halal dalam salah satu olahan menunya. Informasi tersebut mencuat setelah seorang pengguna media sosial mengunggah temuan tersebut dan viral.
Ayam Goreng Widuran, yang telah berdiri sejak 1973 di kawasan Jebres, Solo, diketahui menggunakan minyak babi untuk menggoreng kremesan ayam—bagian dari menu ayam goreng kremes andalannya. Hal ini menimbulkan kehebohan karena selama lebih dari 50 tahun berdiri, tidak ada keterangan jelas mengenai penggunaan bahan non-halal tersebut di menu atau area restoran.
Nanang, salah satu pegawai bagian penggorengan yang telah bekerja selama 10 tahun di rumah makan itu, mengonfirmasi bahwa memang terdapat pemisahan antara minyak untuk menggoreng ayam dan kremesan.
“Kremesan dibuat dari yang non-halal, dari minyaknya. Kalau untuk yang menggoreng ayam beda minyak. Minyak yang dipakai untuk kremes non-halal. Minyak ini cuma untuk kremesan,” ujar Nanang pada Senin (26/5).
Kejadian ini bermula dari unggahan akun @pedalranger di platform Threads yang mengaku kaget setelah mengetahui fakta penggunaan minyak babi di restoran tersebut. Ia menyayangkan tidak adanya transparansi dari pihak restoran terkait status halal atau non-halal menu yang disajikan.
Merespons viralnya informasi ini, pihak manajemen Ayam Goreng Widuran telah menyampaikan permintaan maaf dan melakukan klarifikasi publik. Kini, di beberapa bagian restoran tersebut telah terpasang tulisan bertanda “Kremes Non Halal” sebagai upaya keterbukaan kepada pelanggan.
Namun, hal ini tak menghentikan reaksi publik dan pemerintah. Wali Kota Solo, Respati Ardi, memutuskan untuk menutup sementara restoran tersebut guna evaluasi lebih lanjut. Langkah ini diambil sebagai bagian dari komitmen pemerintah terhadap perlindungan konsumen dan kepastian informasi bagi masyarakat.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi informasi bahan makanan, khususnya di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia. Banyak pihak kini mendesak agar restoran-restoran lainnya lebih jujur dan terbuka dalam menyampaikan status kehalalan produknya.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy